MT Partnership

NEWS UPDATES

Perppu Cipta Kerja dan Problem Meaningful Participation dalam Pembentukan UU

Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 telah mengatur tentang bagaimana pelaksanaan partisipasi publik yang lebih bermakna (meaningful participation). 

Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Perppu setebal 1117 halaman ini bertujuan untuk mengganti Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Seperti diketahui, lewat putusan uji formil Nomor 91/PUU-XVII/2020, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat.

“Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,” demikian bunyi putusan MK.

Terbitnya Perppu Cipta Kerja ini tentu menarik perhatian sejumlah pihak. Terutama sebagaimana disebutkan di atas, Perppu ini oleh pemerintah dijadikan sebagai jalan keluar dari problem inkonstitusional bersyaratnya Undang-Undang. Tidak main-main, bagi pihak yang menolak bahkan menilai pemerintah telah melakukan langkah inkonstitusional dengan menerbitkan Perppu.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, Perppu Cipta Kerja sebagai wujud dari wajah pemerintahan dalam menempatkan publik pada proses legislasi; menempatkan publik sebagai pihak yang berhadapan dengan pemerintah; menempatkan pemangku kepentingan dalam posisi tidak seimbang dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan produk hukum; dan rancu dalam skala prioritas materi muatan legislasi.

Lebih jauh PSHK menilai pemerintah semakin abai dalam menghadirkan partisipasi bermakna dalam proses legislasi. Tidak hanya Perppu Cipta Kerja, PSHK menilai Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilu pun minim menghadirkan partisipasi masyarakat.

Secara normatif, perumusan Perppu merupakan domain pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, namun jika melihat kritik besar dari setiap momentum pengesahan undang-undang, layak mengatakan bahwa penting bagi pemerintah memperhatikan aspirasi publik dalam proses pembentukan regulasi.

 

Rambu-Rambu

Khusus Perppu Cipta Kerja, sejatinya lewat Putusan Nomor 91/PUU-XVII/2020, Mahkamah Konstitusi telah memberikan rambu-rambu dalam melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember, Prof. Bayu Dwi Anggono, lewat putusannya, MK mensyaratkan adanya substansi perubahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memasukkan metode pembentukan undang- udang secara omnibus law.

Seperti yang telah diketahui, metode omnibus law kemudian dimasukkan dalam Pasal 64 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Tahap selanjutnya dari bagian perbaikan UU Cipta Kerja adalah dengan memenuhi asas keterbukaan sebagaimana yang disebutkan dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020. “(Pembentukan UU Cipta Kerja) bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU No. 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil,” bunyi putusan MK.

 

Keterbukaan

Terkait asas pembentukan peraturan perundang-undangan, Hakim MK Suhartoyo saat membacakan putusan menyebutkan berkenaan dengan asas keterbukaan, dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang- undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.

Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU Cipta Kerja. Terlebih lagi naskah akademik dan Rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

“Padahal berdasarkan Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis,” papar Suhartoyo. 

Menurut Prof. Bayu Dwi Anggono, jika pemerintah ingin melaksanakan putusan MK pilihan seharusnya adalah perbaikan melalui pembentukan undang-undang dan bukan melalui Perppu. Dirinya menyebutkan putusan MK jelas memerintahkan perbaikan UU Cipta Kerja dilakukan dengan menyertakan partisipasi publik yang lebih bermakna (meaningful participation).

 

Meaningful Participation

Dalam konteks ini, Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 telah mengatur tentang bagaimana pelaksanaan partisipasi publik yang lebih bermakna (meaningful participation). Menurut ketentuan ini masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kemudian untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan, setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang- Undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Selain itu pembentuk undang-undang juga menginformasikan kepada masyarakat tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Jika melihat ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Prof. Bayu Dwi Anggono menilai pembentukan Perppu jelas tidak dapat memenuhi ketentuan partisipasi bermakna sebagaimana yang dimaksud. Hal ini menyebabkan proses perbaikan UU Cipta Kerja kembali menjadi tidak berkepastian hukum.

Hakim MK Saldi Isra dalam sebuah diskusi menjelaskan, pelaksanaan partisipasi publik yang lebih bermakna (meaningful participation) merupakan sebuah instrument untuk menyambungkan antara wakil rakyat dengan masyarakat dalam proses legislasi. Menurut Saldi, konsep partisipasi masyarakat mengandung makna upaya nyata untuk melibatkan masyarakat terhadap pengambilan keputusan penting, yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh kepada masyarakat.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Prof. Ni’matul Huda menilai, maraknya uji materiil dan uji formil terhadap Undang-Undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR menandakan bahwa terdapat persoalan dalam proses pembentukan undang-undang terutama berkaitan dengan partisipasi masyarakat.

Dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVII/2020, MK menggambarkan bagaimana seharusnya partisipasi masyarakat tersebut diterapkan, yakni dengan berdasarkan pada peraturan legal formal dan dilakukan secara bermakna (meaningful participation).

Menurut MK, partisipasi disebut bermakna apabila hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) dipenuhi oleh pembentuk undang-undang

 

Tujuan

Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 juga memuat pertimbangan tentang tujuan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Tujuan pertama adalah mendapatkan bahan analisis yang lebih kompleks sebagai materi pertimbangan dampak potensial dibentuknya norma hukum, sehingga tercipta kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence).

Tujuan kedua adalah mewujudkan institusi pembentuk undang-undang yang tidak menutup ketercakupan gagasan masyarakat dan menjadikannya semakin representatif dalam hal decision-making (inclusive and representative). Tujuan ketiga, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang diperlukan agar masyarakat semakin yakin dan mempercayai (trust and confidence) parlemen yang dipilihnya untuk menjalankan kekuasaan legislatif.

Penyelenggaraan partisipasi yang bertanggung jawab dalam arti materi partisipasi dan tindak lanjut yang tepat, memperkecil persepsi masyarakat bahwa pembentukan undang-undang bersifat elitis. Masyarakat yang menaruh kepercayaan kepada pembentuk undang-undang sebab partisipasinya mendapatkan respons positif, dalam konteks undang-undang yang menjadi objek partisipasi, tidak lagi beranggapan bahwa pembentuk undang-undang dalam membuat produk hukum hanya memihak kepentingan pihak-pihak tertentu, melainkan berpihak pada kepentingan umum.

Artikel ini diambil dari premium stories Hukumonline yang dapat diakses disini

 

RELATED NEWS UPDATES